BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan pendapatan oleh masyarakat sering kali tidak
memperhitungkan akibat
yang ditimbulkan, terutama dampaknya terhadap ekologis, yang secara simultan
berdampak terhadap sosial ekonomi secara menyeluruh. Kemajuan yang pesat
dibidang teknologi memicu masyarakat ikut serta memacu meningkatkan
pendapatannya dengan berbagai cara yaitu dengan melibatkan keseluruhan aspek
kehidupan di lingkungannya.
Kondisi saat ini di areal pesisir dan pertambakan telah
terkikis (abrasi pantai) dan rob yang lebih dalam ke daratan.
Tambak-tambak udang yang terkikis menjadi hilang dan berubah kondisinya menjadi
laut dan akibat pemanasan global menyebabkan air masuk lebih dalam. Hilangnya
tambak akibat terkikis, menghilangkan pendapatan sebagian petani tambak yang
dahulunya termasuk golongan petani ‘kaya” menjadi tidak “kaya”. Kondisi ini
akan mengubah perilaku petambak yang tadinya sebagai “juragan” berubah menjadi
“bukan juragan”.
Perubahan pendapatan atau sumber mata pencaharian akan
mengubah kondisi masyarakat dan selanjutnya mengubah perilakunya. Seperti
perubahan yang terjadi sebelumnya, akibat “booming” udang windu/bego banyak
muncul jutawan di daerah pesisir. Era tersebut di Demak banyak orang menunaikan
ibadah haji sebagai “prestise sosial” yang tinggi dari hasil budidaya udang
windu/bego, termasuk pada kondisi tersebut perubahan sifat konsumtif masyarakat
yang meningkat. Perubahan-perubahan juga terjadi terhadap pandangan-pandangan
masalah sosial seperti pendidikan, struktur sosial, kelembagaan, keagamaan,
kesehatan, pranata sosial, nilai, norma dan lain-lain. Dengan perubahan kondisi
pendapatan yang sebaliknya yaitu pendapatan masyarakat menurun tentunya akan
mempengaruhi perilaku sosialnya.
Perubahan perilaku masyarakat dapat bersifat intern
maupun ekstern dan dapat bersifat positif maupun negatif. Intern dalam arti
perilaku keseharian yang menyangkut diri sendiri seperti rasa apatis, apriori,
traumatik dan lain-lain, sedang ekstern adalah perilaku keseharian yang
menyangkut terhadap orang lain baik di dalam keluarga maupun luar keluarga
seperti kerjasama, paternalistis dan lain-lain.
Peningkatan pendapatan mengakibatkan perubahan perilaku
masyarakat yang ke arah konsumtif, pemikiran yang lebih maju dan merubah
perilaku sosial secara menyeluruh. Namun sebaliknya kondisi saat ini di kawasan
pertambakan Demakmengalami pendapatan yang menurun atau dapat dikatakan
kesejahteraannya menurun, maka yang terjadi adalah munculnya kemiskinan baru,
daya serap tenaga kerja menurun dan masyarakat kawasan pesisir yang terimbas
ikut menurun. Perubahan pendapatan akan mengubah perilaku masayarakat tersebut.
Perubahan tersebut dapat bersifat positif yaitu menanggapi perubahan sebagai
suatu tantangan untuk maju atau sebagai motivasi untuk lebih baik, namun dapat
sebaliknya menjadi negatif jika tanggapan perubahan menjadikan dirinya apriori,
apatis, acuh tak acuh dan sebagainya yang justru menjadikan dirinya semakin
terpuruk.
Usman (2003) mengemukakan bahwa lingkungan alam sekitar akan membentuk sifat
dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi
sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta
persepsi yang 3 melembaga dalam masyarakat. Dikatakannya pula perubahan
lingkungan dapat merubah konsep keluarga. Nilai-nilai sosial yang berkembang
dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu perubahan
sosial.
Masyarakat kawasan pesisir cenderung agresif, dikemukakan oleh Suharti
(2000) karena kondisi lingkungan pesisir yang panas dan terbuka, keluarga
nelayan mudah diprovokasi, dan salah satu kebiasaan yang jamak di kalangan
nelayan (masyarakat pesisir) adalah karena kemudahan mendapatkan uang
menjadikan hidup mereka lebih konsumtif.
Zamroni (1992) menyatakan bahwa perilaku sosial merupakan hubungan
antara tingkah laku masyarakat dengan tingkah laku lingkungan. Indikator-indikator
perubahan perilaku sosial berbeda-beda pandangan setiap ahli.
Jayasuriya dan Wodon (2003) melakukan riset di sejumlah negara
menggunakan 2 kategori utama yaitu pendidikan dan kesehatan. Sedangkan Africa
(2003) menggunakan indikator kebutuhan dasar minimum - sistim informasi data
masyarakat (MBN-CBIS) dengan 3 indikator utama yaitu survival, security dan
enabling. Usman (2003) memberikan 3 komponen utama dalam mengupas
permasalahan di masyarakat yang terkait dengan kondisi lingkungan yaitu:
demografi, ekonomi dan budaya.
Purba (2002) menyatakan berbagai persoalan sosial dalam pengelolaan lingkungan
sosial antara lain: berkembangnya konflik atau friksi sosial, ketidakmerataan
akses sosial ekonomi, meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya angka
kemiskinan, meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan akses
pengelolaan sumberdaya, meningkatnya gaya hidup (konsumtif), kurangnya
perlindungan pada hakhak masyarakat lokal/tradisional dan modal sosial,
perubahan nilai, memudarnya masyarakat adat, lemahnya kontrol sosial, perubahan
dinamika penduduk, masalah kesehatan dan kerusakan lingkungan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana perubahan pendapatan masyarakat kawasan pesisir
akibat abrasi dan rob jika dilihat dari segi kepribadian sesuai dengan survey?
2. Apa saja
dampak yang dihasilkan dari perubahan pendapatan masyarakat kawasan pesisir
akibat abrasi dan rob?
3. Bagaimana
kondisi dan pemanfaatan sumberdaya alam didesa yang telah dilakukan survey?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan paper ini yaitu :
1. Memenuhi tugas mata kuliah Sosial Budaya pesisir.
2. Untuk mengetahui perubahan pendapatan masyarakat kawasan
pesisir Demak.
3. Dampak yang dihasilkan dari perubahan tersebut.
4. Kondisi dan pemanfaatan sumberdaya di daerah tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
21. Perubahan Masyarakat Kawasan
Pesisir Akibat Abrasi dan Rob
Komoditi udang pada era awal 90-an di
Kabupaten Demak mengalami booming
permintaan dan harga yang dikatakan sebagai era “keemasan”
petambak udang windu/bego. Hal ini membuat masyarakat berupaya meningkatkan
produksinya semaksimal mungkin dengan berbagai cara dan berupaya alih kegiatan
menjadi petambak udang. Era tersebut banyak petambak udang berubah statusnya menjadi
lebih makmur.
Perubahan
pendapatan masyarakat yang terjadi akibat abrasi dan rob yang lebih ke dalam
masuk daratan di tiga desa sample yaitu desa Sriwulan kecamatan Sayung yang
terletak di perbatasan dengan kota Semarang, desa Bedono Kecamatan Sayung dan
Desa Babalan Kecamatan Wedung yang merupakan desa pantai berbeatasan dengan
kabupaten Jepara, sebagai berikut
·
Umur
Kepala Keluarga
Keluarga yang digunakan untuk penarikan sample memiliki
kepala keluarga bukan pegawai. Dari hasil temuan umur kepala keluarga
bervariasi dari 35 hingga 70 tahun. Diperoleh gambaran masih terdapat suami
yang berusia muda, namun karena bergabung dengan orang tua, maka status mereka
bukan kepala keluarga.
·
Pendidikan
Pendidikan kepala keluarga
mayoritas tidak tamat SD, hanya sebagian kecil yang tamat Sekolah Dasar dan
sebagian kecil lagi tamat Sekolah Lanjutan Pertama yaitu sekolah Madrasah
Tsanawiyah. Letak desa dan kondisi masyarakat sangat mempengaruhi sudut pandang
terhadap pendidikan, desa dekat kota meskipun pendapatan menurun mereka masih
berorientasi pada sekolah-sekolah umum dan berharap untuk melanjutkan sekolah
yang lebih tinggi, tetapi karena pendapatan yang menurun, jenjang pendidikan
yang ditempuh sangat rendah. Desa yang berlokasi jauh dari kota (contoh: Desa
Babalan, Wedung, Demak), lebih cenderung mengenyam pendidikan di
sekolah-sekolah agama seperti Madrasah Diniyah setara SD (jam belajar: 14.00 –
17.30), dan Madrasah Wusto setara SMP. Dan dilanjutkan ke pondok-pondok
pesantren maupun Madrasah Al Uhya (setara SLA). Sekolah-sekolah tersebut
bersifat swadaya masyarakat dan pengajarnya bersifat sukarela. Bagi anak-anak
usia sekolah dasar yang keluarganya relatif mampu melakukan pembelajaran di SD
negeri dan sore dilanjutkan ke Madrasah Diniyah, dan jika lulus melanjutkan ke
Madrasah Tsanawiyah. Keluarga yang telah banyak mengalami penurunan pendapatan
yang mengakibatkan kemiskinan, mereka tidak dapat melanjutkan sekolah hingga
tamat SD dengan alasan membantu menambah pendapatan keluarga sebagai nelayan.
·
Jumlah
anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga relatif cukup banyak, meskipun
telah mengalami penurunan pendapatan keluarga mereke masih memiliki
kecenderungan untuk menambah anak, dengan alasan lebih pada pendekatan agamis,
bahwa setiap anak membawa rejekinya masing-masing dan perolehan anak adalah
sebuah rejeki yang diterima dari Tuhan dan harus dinikmati. Penurunan
pendapatan tidak mempengaruhi pandangan mereka terhadap jumlah anak. Pada
masayakat yang relatif mampu maupun miskin memiliki anak 2 - 6, dan ditemukan
kepala keluarga dengan usia 45 tahun namun masih memiliki anak usia 2 tahun.
·
Jenis
Pekerjaan dan Angkatan Kerja
Jenis-jenis pekerjaan yang
dilakukan masyarakat desa sampel adalah nelayan tangkap baik buruh maupun
nakoda, nelayan jaring, nelayan “pasang”, petambak, atau pedagang ikan/udang.
Dari temuan sampel sudah tidak ditemukan lagi petani pangan maupun non pangan,
meskipun sebelumnya mereka adalah petani pangan dan palawijo. Para nelayan
tangkap di ketiga desa sampel memiliki ciri yang relatif sama. Nelayan sampan
(kapasiatas 1 - 2 orang) hanya melakukan penangkapan ikan jarak dekat artinya
hanya sekitar kawasan pantai di sekitar mereka tinggal dan melakukan
penangkapan ikan setiap hari jika
memungkinkan. Hal yang tidak memungkinkan melakukan penangkapan adalah
jika hari hujan turun deras. Hal ini berbeda dengan nelayan tangkap jauh yaitu
yang menangkap ikan menjauh ke arah laut, apabila cuaca terlihat tidak
memungkinkan, meskipun tidak turun hujan, mereka tidak pergi melaut. Nelayan
sampan kebanyakan adalah bekas petambak yang telah hilang tambaknya akibat
abrasi namun masih memiliki sampan dan alat tangkapnya, sedang nelayan tangkap
adalah para nelayan lama yang sejak dahulu berprofesi sebagai nelayan. Namun
petambak yang sudah tidak memiliki sampan, mereka melakukan pekerjaan apapun
untuk dapat menopang hidup keluarganya (serabutan) dan lebih banyak sebagai
buruh dan nelayan seser atau justru tanpa bekerja apapun dan mengandalkan
keluarga lainnya untuk menopang hidupnya, meskipun berstatus Haji. Anak-anak
nelayan di tiga desa memberikan gambaran yang berbeda terhadap jenis pekerjaan
dan keinginan pekerjaan, meskipun sudut pandang mereka sangat tergantung dengan
kondisi kesejahteraan keluarga. Anak-anak desa Sriwulan memiliki sudut pandang
yang berbeda dibanding anak-anak di dua desa lainnya, yaitu lebih cenderung
memilih jenis pekerjaan dikota atau menjadi buruh dan pegawai dibanding menjadi
nelayan. Para orang tua di desa Sriwulan pada awalnya (sebelum musibah
hancurnya tambak mereka) masih mengharapkan anak-anak mereka bekerja di
pertambakan, karena kekayaan yang diperoleh dari tambak cukup menjajikan.
Masyarakat desa Bedono dan Babalan relatif sama yaitu jenis pekerjaan yang
diharapkan digeluti si anak adalah jenis pekerjaan disekitar mereka, yaitu dengan
aktifitas pertambakan, meskipun memberikan hasil yang relatif kecil. Bagi
nelayan tangkap meskipun secara khsusus memberikan kesempatan terhadap anak
untuk bekerja sesuai keinginan, namun mereka memiliki kecenderungan
mengharapkan anak-anak mereka juga bekerja sebagai nelayan. Hal ini dengan
alasan karena tidak dapat menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih
tinggi dengan alasan masalah ekonomi. Kesempatan kerja tampaknya relatif
terbatas terutama di desa Bedono dan Babalan. Berbeda dibanding dengan desa
Sriwulan yang suasana telah menjadi kota satelit, kesempatan kerja di luar
kegiatan tambak dan nelayan relatif tinggi, seperti buruh bangunan, dagang,
jasa, pengecer dan lain-lain. Khusus desa Babalan kesempatan kerja meskipun
terbatas namun lebih menjanjikan untuk hidup dan tidak ada batasan adalah
sebagai nelayan tangkap. Informasi dari perankat desa menyatakan bahwa apabila
mau turun ke laut apapun kegiatannya dapat dipastikan memberikan hasil. Hal ini
dapat dikatakan bahwa di pantai sangatlah mudah untuk memperoleh pendapatan
meskipun kecil.
Angkatan kerja merupakan anak yang dapat bekerja dan
memperoleh penghasilan dan secara umum usia angkatan kerja adalah 15 tahun ke
atas. Hasil temuan menunjukkan usia kerja nelayan adalah 14 tahun, sedang untuk
petani tambak menganggap usia kerja adalah 17 tahun. Pada kondisi khusus dimana
ekonomi petani atau nelayan tergolong miskin akan memperkejakan anaknya dibawah
usia tersebut.
·
Kepemilikan
Lahan
Lahan yang diusahakan masyarakat adalah lahan sendiri,
baik karena waris maupun beli. Lahan yang digunakan adalah tambak, baik tambak
“lokasi” maupun tambak “alam”. Lahan sawah saat ini sudah tidak ditemukan lagi,
baik telah berubah fungsi menjadi tambak maupun yang sudah tenggelam menjadi
laut. Lahan sawah yang tenggelam menjadi laut hanya terdapat di Desa Sriwulan,
sedang di dua desa lainnya tidak ditemukan. Tidak ditemukan lagi transaksi
kepindahan hak milik penguasaan lahan tambak sejak fenomena abrasi terjadi.
·
Pendapatan
Pendapatan nelayan saat ini relatif kecil dibanding
dengan beberapa tahun sebelumnya. Pendapatan berbagai jenis pekerjaan juga
membedakan pendapatan mereka maupun perubahan pendapatan mereka. Para petambak
lebih besar perubahannya dibanding dengan nelayan tangkap. Rata-rata petambak
memberikan argumen bahwa pendapatan mereka turun berkisar antara 60 – 80
persen, sedang nelayan penurunan pendapatan mereka relatif lebih kecil berkisar
antara 25 – 50 persen dari sebelumnya, meskipun dinyatakan harga per unit
produk naik. Perubahan pendapatan ini terutama disebabkan adanya rob sehingga
budidaya tambak, baik bandeng maupun udang mengalami penurunan akibat kualitas
air yang tidak baik (lebih salin). Berbeda dengan petambak yang telah hilang
tambaknya, mereka telah betulbetul tidak memperoleh pendapatan dari hasil
tambak, dan penghasilan yang diperoleh adalah dari buruh serabutan. Beberapa
temuan yaitu di desa Bedono dan Sriwulan pendapatan mereka berkisar antara Rp
2.500 – Rp 50.000 per hari dan fluktuatif. Berbeda dengan nelayan sampan dan
nelayan jaring, pendapatan mereka relatif stabil dan cukup besar yaitu berkisar
antara 25.000 – 60.000 per hari dan dapat dimungkinkan melakukan aktifitas
setiap hari selama setahun. Desa Babalan lebih sedikit pendapatan yang
diperoleh, nelayan pasang memiliki pendapatan berkisar antara Rp 12.500 – Rp
75.000 dan sangat tergantung dengan musim. Nelayan sering menyebut dengan nama
musim kesongo sebagai musim panen dimana udang dan ikan kecil dari laut banyak
ke arah daratan dan tertangkap di sekitar pantai dan muara sungai. Perubahan
pendapatan meskipun tidak digambarkan secara jelas, namun dari beaya sewa
(pajak) pasang jaring tangkap di muara sungai pada periode sebelumnya mencapai
Rp 12 juta per tahun per patok, kini hanya Rp 2,5 juta per tahun per patok.
·
Kesehatan
Permasalahan kesehatan dapat dikatakan relatif rumit,
karena sangat terkait dengan lingkungan dan ekonomi. Dalam menjaga kesehatan
para petani dan nelayan tidak melakukan kegiatan khusus, karena kehidupan
mereka yang cukup keras artinya setiap langkah kehidupan mereka adalah untuk
memperoleh penghasilan. Warga masyarakat dalam mengatasi sakit yang dideritanya
berbeda sesuai dengan karakteristik desa. Warga desa Sriwulan memiliki
fasilitas kesehatan lebih baik, cenderung memanfaatkan fasilitas kesehatan yang
ada. Namun dengan alasan ekonomi, mereka menganggap dirinya tidak mampu maka
mereka melakukan pengobatan sendiri dengan obat-obat yang dijual bebas sampai
batas terntentu kemudian dilakukan perawatan yang lebih baik jika sakit parah.
Terlebih akibat penurunan pendapatannya, para nelayan lebih memprioritaskan
konsumsi pangan, sehingga sakit yang tidak parah akan dilakukan pengobatan
sendiri menggunakan obat bebas.
·
Kepemimpinan
Pranata kepemimpinan warga desa sampel relatif tidak
berubah dari tahun ke tahun. Masyarakat membedakan kepemimpinan bidang agama
dan kepemimpinan bidang administrasi sosial. Jika masalah dihadapi adalah
masalah agama, maka mereka akan melakukan pendekatan dengan pemimpin agama, dan
sebaliknya jika permasalahan yang dihadapi adalah masalah administrasi maka
mereka melakukan pendekatan melalui perangkat desa. Konflik sosial yang
terjadipun sudah tidak menggunakan fasilitas kepemimpinan agama. Sebagai contoh
perselisihan akibat penggunaan lahan atau penyerobotan ikan ke penguasaan orang
lain, yang dapat berbuntut pada konflik sosial yang lebih jauh, pendekatan atau
penyelesaian yang terjadi sudah tidak menggunakan tokoh-tokoh sentra agamis,
namun menggunakan perangkat desa, sehingga dapat dikatakan kepemimpinan yang
dianut dalam konflik sosial yang terjadi adalah menggunakan kepemimpinan
formal.
·
Pranata
Pernikahan
Masyarakat memiliki pandangan
yang berbeda dalam pernikahan. Masyarakat desa Sriwulan memiliki karakteristik
yang relatif berbeda dibanding dengan dua desa lainnya. Pernikahan secara umum
sama dalam kegunaannya yaitu untuk membentuk sebuah keluarga baru. Namun usia
pernikahan di kedua kelompok desa tersebut berbeda. Desa Sriwulan yang relatif
sudah terpengaruh oleh masyarakat perkotaan memandang usia pernikahan relatif
lebih tua dibanding dua desa lainnya, yaitu usia pernikahan untuk wanita di
atas 16 tahun, sedang pria di atas 17 tahun. Sedangkan masyarakat desa Bedono
dan Babalan memiliki kesamaan dalam usia siap nikah, yaitu wanita dapat
dilakukan pernikahan di usia 14 tahun, sedang laki-laki di atas 17 tahun.
Para orang tua di desa Bedono dan Babalan memiliki
kecenderungan segera melepas anaknya untuk menikah dan tidak perlu membiayai
lagi atau menjadi beban keluarga. Sehingga apabila terdapat lamaran atau
peminangan anak wanitanya kapanpun akan diterima untuk diserahkan guna
dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Sedangkan untuk anak laki-laki, masyarakat
desa Bedono dan Babalan memiliki kecenderungan menunda atau semakin tua semakin
baik. Hal ini ditujukan untuk turut serta menopang kehidupan keluarga. Akibat
penurunan pendapatannya para orangtua di ketiga desa memiliki pandangan segera
menikahkan anak perempuan mereka agar tidak menajdi tanggungan keluarga.
·
Organisasi
Sosial
Organisisai sosial yang ada telah mengalami penurunan sebagai
akibat kondisi sosial yang kurang menguntungkan yaitu berkurangnya
kesejahteraan mereka akibat abrasi dan rob. Pada era sebelum musibah organisasi
kesenian, seperti Qasidah dan Rebana dimiliki dan aktif di semua desa, namun
setelah terjadinya perubahan kondisi masyarakat dengan meningkatnya kemiskinan,
organisasi kesenian tersebut sudah tidak aktif lagi, meskipun secara
administrasi statistik masih terdaftar. Kelompok kesenian yang tersisa yaitu di
desa Sriwulan dan Desa Bedono merupakan kelompok perorangan yang bersifat
komersil. Organisai sosial yang tersisa bersifat sosial agama, seperti majlis
pengajian Yasinan, maupun kelompok pengajian rutin keliling.
·
Sikap
Sikap
warga masyarakat terhadap lingkungan sosialnya merupakan tanggapan terhadap perilaku
masyarakat lain. Secara umum dari ketiga desa Sampel, masyarakatnya relatif
tidak mengalami perubahan sikap terhadap warga masyarakat lainnya. Rasa gotong
royong, toleransi dan peduli dengan tetangga masih tinggi namun tingkat
kepeduliannya menurun. Secara umum sifat yang dimiliki masyarakat pesisir yaitu
konsumtif tanpa perencanaan masih tampak. Sifat ini sering disebut dengan
istilah “wani sebrakane”, yaitu berani membelanjakan uang yang ada sekarang
tanpa memperhitungkan di kemudian hari, dan bahkan melakukan kredit tanpa
perencanaan.
2.2 Dampak
Yang di Hasilkan Akibat Penurunan Pendapatan Akibat Abrasi dan Rob
Lingkungan alam sekitar akan membentuk sifat dan perilaku
masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi sosial,
distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta
persepsi yang melembaga dalam masyarakat. Dikatakannya pula perubahan
lingkungan dapat merubah konsep keluarga. Nilai-nilai sosial yang berkembang
dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu perubahan
sosial. Masyarakat
kawasan pesisir cenderung agresif karena kondisi lingkungan pesisir yang panas
dan terbuka, keluarga nelayan mudah diprovokasi, dan salah satu kebiasaan yang
jamak di kalangan nelayan (masyarakat pesisir) adalah karena kemudahan
mendapatkan uang menjadikan hidup mereka lebih konsumtif. Disamping itu
berbagai persoalan sosial dalam pengelolaan lingkungan sosial antara lain:
berkembangnya konflik atau friksi sosial, ketidakmerataan akses sosial ekonomi,
meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, meningkatnya
kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan akses pengelolaan sumberdaya, meningkatnya gaya
hidup (konsumtif), kurangnya perlindungan pada hak-hak masyarakat
lokal/tradisional dan modal sosial, perubahan nilai, memudarnya masyarakat
adat, lemahnya kontrol sosial, perubahan dinamika penduduk, masalah kesehatan
dan kerusakan lingkungan
2.3 Kondisi dan Pemanfaatan Sumberdaya
Alam
Desa
Sriwulan dan desa Bedono mengalami perubahan kondisi sumberdaya yang relatif
sama, yaitu wilayah yang dahulunya merupakan lahan pertambakan menjadi laut
atau pantai, lahan yang dahulunya merupakan lahan sawah telah berubah menjadi
lahan tambak. Sedangkan desa Babalan perubahan lahan sawah menjadi laut tidak
terjadi, yang terjadi adalah perubahan lahan tambak yang menjadi laut dan lahan
sawah menjadi lahan tambak. Terjadinya perubahan lahan relatif hampir
bersamaan, perubahan lahan sawah menjadi tambak terjadi mulai 1993 akibat
konversi menjadi tambak udang yang lebih menguntungkan. Namun pada 1995 akibat
rob yang lebih jauh ke dalam mengakibatkan lahan sawah terkena air asin
sehingga tidak dapat ditanami dengan jenis tanaman darat. Hal ini menyebabkan
petani mengkonversikan menjadi lahan tambak murni tanpa tanaman. Dengan semakin
jauhnya rob ke daratan mengakibatkan lahan tambak darat ikut terimbas air laut,
sehingga tanaman darat mati. Dan sejak 2000 di desa Sriwulan dan Bedono,
tambak-tambak mulai tenggelam, dan batas antar tambak banyak yang sudah tidak
tampak sehingga batas kepemilikan menggunakan waring (jaring). Khusus di desa Bedono terdapat
dua dusun (perkampungan) yang telah terkena rob cukup dalam sehingga sebagian
rumah-rumah penduduk secara rutin lantainya tenggelam di saat rob muncul dan
keadaannya basah (becek) setiap saat. Potensi sumberdaya alam yang tersisa
di ketiga desa adalah sumberdaya alam yang berkaitan air laut. Jenis tanaman
yang tersisapun jenis tanaman yang tahan terhadap air laut, seperti jenis
tanaman mangrove yaitu bakau dan api-api dan yang sedikit toleran dengan air
laut seperti tanaman waru dan tanaman turi. Tanaman yang berpotensi
menghasilkan dan diharapkan dapat dikembangkan secara komersial adalah tanaman
api-api yang menghasilkan buah “brayo”. Buah ini secara tradisional dimanfaatkan
sebagai makanan ringan karbohidrat yaitu direbus dan dimakan bersama parutan
kelapa dan sebagian telah diperdagangkan. Hingga saat ini buah “brayo” belum
dimanfaatkan selain tersebut di atas, namun sangat berpotensi untuk dimanfatkan
dan dikomersialkan untuk diolah lebih lanjut menjadi pangan lain, seperti
emping atau yang lainnya. Potensi alam baik tambak udang bego maupun tambak
bandeng telah mengalami penurunan produktivitas. Penurunan ini oleh petani
tambak dianggap telah menurun hingga yang tersisa sekitar 20 %. Berbeda dengan
tambak-tambak alam udang bego, dimana tambak-tambak yang tersisa masih dapat
diharapkan dari hasil rob dengan ratarata per hari diperoleh 0,5 – 2 kg per
hektar per hari, meskipun dianggap telah turun mencapai 50 %.
2.4 Fenomena yang muncul
Fenomena-fenomena yang muncul di
kalangan petani dan nelayan yang mengalami
rob dan abrasi sangat bervariatif. Secara umum perubahan perilaku mereka
mengarah negatif, yaitu para petani dan nelayan menjadi terpuruk. Meskipun
secara keahlian mereka bertambah yaitu yang sebelumnya bukan nelayan, saat ini
menjadi nelayan.
Desa Babalan dalam menghadapi rob tidak menjadi masalah, karena kejadian rob
dianggap kejadian yang biasa mereka alami. Yang menjadi masalah adalah bahwa
rob yang datang bersifat menghancurkan tambak-tambak mereka. Pada era sebelumnya yaitu di
tahun-tahun sebelum 1995 rob yang datang justru diharapkan, karena rob tersebut
membawa udang bego dan ikan-ikan kecil yang terjebak di tambak-tambak mereka.
Di lain pihak rob yang datang juga membawa lumpur yang dapat menjebak jenis
ikan dan udang tersebut di tambak dan tambak-tambak dapat terbentuk atau
bertahan. Namun dengan berjalannya waktu, rob yang datang saat ini tidak
membawa lumpur namun justru mengikis tanggul-tanggul tambak dan rob yang datang
menjadi lebih banyak sebagai akibat pemanasan global akibatnya tambak terabrasi
dan tenggelam. Para pemilik tambak yang dahulunya dapat menikmati hasilnya
dengan baik kini sudah tidak dapat melakukan aktifitas yang memadai, karena
disamping terganggu jiwanya juga tidak memiliki keahlian lain. Akibatnya
beberapa orang mengalami gangguan kejiwaan (stress) dan beberapa orang
melakukan kegiatan apa adanya agar mendapatkan penghasilan. Desa Bedono dan desa Sriwulan
tidak hanya mengalami rob namun sekaligus mengalami abrasi tambak yang
mengakibatkan tenggelamnya tambak cukup luas. Perubahan perilaku relatif sama
dengan yang terjadi di desa Babalan. Para petani tambak ini mengalami gangguan
kejiwaan (stress) sehingga mereka bingung untuk melakukan kegiatan atau
aktifitas yang menguntungkan lainnya. Perbedaan yang ada dibanding di desa
Babalan adalah para petani tambak di dua desa ini dahulunya merupakan
“juragan”, artinya segala aktifitas tambak menggunakan tenaga buruh dan tidak
melakukan aktifitas tambak sendiri (dikerjakan orang lain). Namun akibat
tenggelamnya tambak mereka dan tidak dapat memperoleh pendapatan dari tambak,
maka para “juragan” ini melakukan kegiatan serabutan sebagai buruh untuk
memperoleh pendapatan guna menghidupi keluarga mereka. Aktifitas tersebut dapat
berupa menjadi buruh bangunan, berdagang maupun nelayan “seser’. Sedangkan
petani dan nelayan yang masih memiliki tambak-tambak yang tersisa, saat ini
tidak diburuhkan, artinya segala aktifitas ushatani tambak dikerjakan sendiri.
Hal ini disebabkan produktifitas rendah yang mengakibatkan pendapatan rendah
sehingga tidak mampu membayar tenaga kerja upahan. Kondisi petani dan nelayan
yang kehilangan matapencaharian, terutama yang tidak mampu bekerja karena
gangguan kejiwaan, lebih mengandalkan bantuan dari kerabatnya, meskipun
demikian penampakan warga tersebut masih berusaha menunjukkan seolah-olah
dirinya adalah juragan
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
·
Secara umum para petani tambak dan nelayan yang
mengalami penurunan pendapatan akibat abrasi tambak dan rob mengalami perubahan
perilaku yang bersifat negatif yaitu apriori, apatis dan mengalami gangguan
jiwa.
·
Perubahan mata pencaharian petani dan nelayan yang
hilang tambaknya adalah menjadi buruh serabutan, nelayan seser ataupun nelayan
tangkap (sampan dan jaring) sedang petambak yang tersisa, dahulu juragan,
berubah menjadi petani penggarap.
·
Pendidikan relatif rendah disamping karena budaya juga
diperparah akibat kemiskinan yang muncul. Pendidikan jalur agama Islam (MD, MW
dan Pondok Pesantren) dianggap lebih penting dibanding pendidikan formal.
Akibat penurunan 12 pendapatan para nelayan dan petani tambak tidak dapat
menyekolahkan anaknya lebih tinggi.
·
Lahan tambak yang tersisa saat ini berstatus lahan
milik sendiri dan tidak ada yang berstatus penyakap maupun penyewa. Penghasilan
nelayan turun antara 25 – 50 % sedang pendapatan petambak turun antara 60 – 80
%.
·
Potensi sumberdaya alam yang memungkinkan untuk
diberdayakan guna meningkatkan pendapatan petani dan nelayan disamping laut dan
tambak tersisa adalah buah tanaman api-api (buah “brayo”) yang dapat dijadikan
sebagai emping atau makanan ringan lainnya, disamping tanamannya sebagai
konservasi lahan.
DAFTAR PUSTAKA
Africa, T., 2003. Social Statistics in the Development Agenda: Two
Cases for Relevance Suistainability. United Nations statistics Division,
Paper at presented at the Expert Group Meeting on Setting the Scope of Social
Statistics, United Nations, New York, 6-7 Mey 2003.
Jayasuriya, R. and Q. Wodon, 2002. Explaining Country Efficiency in
Improving Health and Education Indicato: The Role of urbanization. The
World Bank.
Purba, Johny, 2002. Pengelolaan Lingkungan sosial. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta,156.
Suharti, 2000. Potret Nelayan Kenjeran.
Socialforum.hyoermart.net/_cusudi/00000007.htm
Tim Peneliti Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Stiper. 2003. Pola
Pengelolaan
Pantai Utara
Jawa Tengah. (Laporan Sementara). Instiper. Yogyakarta.
Usman, S. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta,
310 hal
Zamroni, 1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial, Tiara FWacana,
Yogyakarta. 208 hal.
No comments:
Post a Comment